Sri Mulyani Indrawati mengklaim posisi utang pemerintah saat ini masih cukup aman, yakni 29,98 persen dari PDB.
DUTABET – Jumlah utang pemerintah Indonesia di era kepemimpinan Joko Widodo mengalami lonjakan cukup signifikan. Dalam 4 tahun terakhir, sejak 2014 hingga 2018, utang Indonesia bertambah hingga Rp1.809,6 triliun.
Data APBN KiTa yang dirilis Kementerian Keuangan, Selasa, 22 Januari menunjukkan, total utang pemerintah hingga Desember 2018 berada di angka Rp4.418,3 triliun. Sementara pada periode yang sama pada 2014, posisi utang Indonesia berada di angka Rp2.608,7 triliun.
Peningkatan utang tentu tak lepas dari ekspansi belanja pemerintah yang tak diiringi oleh peningkatan tax ratio. Selain itu, deviden yang didapat dari BUMN ke kas negara juga tak sebanding dengan utang yang digali karena proyek penugasan.
Pada 2014, misalnya, laba bersih seluruh perusahaan pelat merah tercatat Rp148 triliun—jumlah BUMN pada 2014 sempat mencapai 119 BUMN, pada 2017 menyusut jadi 115 BUMN karena kebijakan holding.
Tahun berikutnya, hanya meningkat menjadi Rp150 triliun (2015), Rp164 triliun (2016), Rp185 triliun (2017) dan Rp218 triliun (2018). Sementara pembengkakan utang mencapai Rp3.769 triliun (2015), Rp4.216 triliun (2016), dan Rp4.825 triliun (2017).
Meski demikian, Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, rendahnya penerimaan tersebut tak semata disebabkan oleh faktor kebijakan, melainkan juga eksternal.
PLN, misalnya, jadi salah satu BUMN yang merugi karena fluktuasi nilai kurs, lantaran belanja modalnya menggunakan valuta asing (valas). Sementara produk yang dijual PLN menggunakan rupiah.
“Volatilitas nilai tukar rupiah, harga komoditi yang turun, hingga kenaikan harga sebagian raw material yang dibutuhkan BUMN juga berpengaruh [pada kinerja keuangan]” kata Toto.
Baca juga: Pertumbuhan Utang Paling Tinggi: Era SBY atau Jokowi?
Terkait ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan posisi utang pemerintah saat ini masih cukup aman, yakni 29,98 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang berdasarkan data sementara sebesar Rp14.735,85 triliun.
Mantan direktur pelaksanaan Bank Dunia itu berpendapat, penggunaan utang merupakan solusi yang layak diterapkan dalam membangun infrastruktur.
Sebab, kata Sri Mulyani, tak mungkin pemerintah mencabut jaminan sosial yang diberikan pemerintah untuk membesarkan porsi anggaran infrastruktur.
“Kan, enggak mungkin ada 53 juta anak kita minta enggak sekolah dulu selama pembangunan infrastruktur,” kata Sri Mulyani, Selasa kemarin.
Waspadai Bunga Utang
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Bihma Yudisthira menilai posisi pembayaran utang pemerintah sebenarnya masih rentan terhadap tekanan eksternal.
Hal tersebut perlu diperhatikan, kata Bhima, terutama karena sebagian besar utang pemerintah berasal dari penerbit Surat Berharga Negara (SBN).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi utang SBN pemerintah memang sangat besar, yakni 8,1 persen, dengan rincian 58,8 persen berdenominasi rupiah, sementara 22,8 persennya menghilangkan denominasi valas (mata uang asing).
Implikasinya, kata Bhima, pemerintah harus membayar bunga lebih mahal yakni 8,1 persen untuk tenor 10 tahun.
“Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia,” kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).
Walhasil, realisasi pembayaran bunga utang pada tahun 2018 tembus di atas 108,2 persen dari target. Sementara pada 2019, kata Bhima, diperkirakan bunga utang akan mengalami pembengkakan hingga Rp267-275 triliun.
“Total realisasi bunga utang 2018 sebesar Rp258,1 triliun. Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN,” kata dia.
Kondisi ini, menurut Bhima, menjadi “warning” buat pemerintah untuk melakukan beberapa penyesuaian. Caranya, dengan mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas serta memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah.
Bhima menyebutkan, pemerintah juga perlu melakukan rasionalisasi proyek-proyek pembangunan. “Pemerintah juga bisa menunda beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai melalui utang valas termasuk utang BUMN,” jelas dia.
Apa yang disampaikan Bhima ada benarnya. Lantaran itu, tahun ini pemerintah bakal berusaha menurunkan ketergantungan terhadap utang valuta asing, terutama untuk SBN.
Rasio penurunan ketergantungan terhadap utang valuta asing tersebut didasarkan atas beberapa hal. Pertama, menghindari pertumbuhan menghindari fluktuasi mata uang asing dan kenaikan yield SBN akibat adanya kebijakan tight money policy dari The Fed.
“Perang dagang yang diperkirakan masih terus akan berlanjut serta adanya kemungkinan Brexit jilid dua dari negara-negara Eropa,” demikian laporan APBN KiTa yang dirilis Kementerian Keuangan.
Kedua, adanya rencana penerbitan SBN retail secara online setiap bulan dalam rangka pendalaman pasar dalam negeri, sehingga masyarakat dapat terus berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia.
Meski demikian, efek dari naiknya utang pemerintah sebesar 10,5 persen pada 2018 dinilai belum signifikan mendorong indikator produktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5,1 persen, sementara pertumbuhan ekspor hanya berada di kisaran 6,65 persen.
Di sisi yang lain, utang pemerintah faktanya tidak semua untuk pengeluaran infrastruktur. Khusus untuk belanja pemerintah pusat, kenaikan cukup tajam justru terlihat dari pembayaran bunga utang, yakni 86.9 persen—Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp249,4 triliun pada 2018.
Setelahnya, ada belanja barang yakni sebesar 80,9 persen dari Rp176,6 triliun ke Rp319,5 tirliun, dan belanja pegawai sebesar 40,5 persen dari Rp243,7 triliun menjadi Rp342,4 triliun.
Belanja modal pemerintah—yang berkaitan dengan proyek infrastruktur—justru berada di urutan keempat dari komponen penyumbang utang pemerintah, yakni dengan pertumbuhan 31,4 persen dari Rp147,3 triliun ke angka Rp193,6 triliun.
Jika postur saat ini terus dibiarkan, kata Bhima, maka utang yang masuk lampu kuning bisa berubah menjadi lampu merah.
“Pemerintah enggak bisa melihat hanya efek jangka panjang tapi diharapkan bisa mengoptimalkan dampak utang di jangka pendek. Postur belanja dari utang harus di efektifkan untuk pembangunan bukan lebih banyak masuk ke pos belanja konsumtif,” kata Bhima.