Sejak memutuskan berprofesi sebagai lifter, Eko Yuli Irawan menyadari cedera menjadi risikonya. Dia memilih untuk berkawan.
Menggeluti angkat besi sejak remaja, Eko pun harus melahap latihan berat setiap hari. Apalagi, dia mematok target sendiri untuk bisa menambah angkatan 10 kg setiap bulannya demi sesegera mungkin tampil di olimpiade.
Hasrat itu bukan tanpa risiko. Cedera silih berganti membekap Eko.
“Saya sampai lupa cederanya apa saja. Untuk yang cedera sampai mengganggu sih ada empat. Semua karena latihan,” kata Eko.
Cedera paling berat dirasakan Eko menjelang Olimpiade 2012 London. Tulang keringnya retak.
Dengan kondisi tersebut, Eko berhasil meraih medali perunggu. Lifter asal Lampung itu mencatatkan total angkatan 317 kg.
“Semua cedera ditangani dengan baik oleh fisioterapi. Latihan dibuat agar tak mengganggu proses penyembuhan,” ujar dia.
Agar tak terjebak dengan cedera, Eko tak pernah membiarkan trauma berlama-lama. Setelah dokter menyatakan sembuh, dia pun memaksa dirinya berlatih keras.
Dengan membiarkan trauma, menurut Eko, hanya akan membuatnya takut untuk berlatih. Padahal, angkat besi bukan hanya hobi namun sudah menjadi profesi bagi dia.
Tapi, Eko pernah dibuat tak berkutik saat dibekap cedera. Pengalaman kurang menyenangkan itu didapatkan sepekan menjelang Kejuaraan Dunia junior 2009.
Namanya sudah didaftarkan sebagai peserta. Visa dan tiket sudah diperoleh.
“Waktu itu benar-benar bingung. Tapi, seminggu sebelumnya malah cedera lutut. Saat itu, cuma saya yang diberangkatkan. Tidak ada wakil Indonesia lainnya,” ujar Eko.
“Sampai sekarang pun kalau nyeri masih ada. Tapi, nggak perlu dirasakan. Fokus saja sama target,” ujar Eko.